Senja
ini, sekali lagi aku berdoa untuk hatiku. Aku meminta tuhan
mempertemukanku dengan seseorang yang bisa membuatku merasa “hidup”
kembali. Aku tidak menyebut namamu, tapi aku tahu, tuhan tahu aku
memintamu.Selepas itu, aku mengangkat kedua tanganku, berdoa. Di
akhir doaku, aku mengurungkan keinginanku untuk meminta hal yang sama
yang aku minta dalam sujudku. Aku terlalu malu memintamu kepada-Nya. Aku
malu meminta kebahagiaan orang lain menjadi milikku, hanya karena aku
tahu bagaimana rasaya saat kebahagiaanku direnggut orang lain.Kamu
kebahagiaan kecil yang mengajariku berbagi, saat yang aku tahu hanya
bagaimana cara berbagi dengan diriku sendiri. Kamu kebahagiaan kecil
yang mengajakku melangkah perlahan sambil menegakkan kepala, saat aku
terbiasa melangkah cepat sambil menunduk.Jadi, akhirnya kamu
selalu di sana, mengingatkan aku untuk tetap berjalan perlahan. Tidak
ada orang lain, hanya kamu, hanya aku, hanya kita.Senja itu, kita
hanya sedang membuat jejak, bepergian tanpa arah, berbicara, tertawa…
membiarkanembusan angin menyapu lembut pipi kita yang melebar karena
tersenyum. Aku suka senyum yang terpantul dari kaca spion motormu yang
selalu kamu arahkan agar bisa melihatku, aku suka saat kamu mengatakan,
“Dih senyum-senyum..” saat kamu tahu kamu alasannya, dan kamu pun
begitu, tersenyum. Dan, ya… Bahasa bisu menjadi bahasa kesukaanku
semenjak itu, semenjak kita sama-sama tahu bahwa jalan ini akan
menyimpan banyak kenangan tanpa harus kita menyetujuinya. Ya, begitulah
bisu mengucapkan kata sepakat.
Mungkin kita terlalu lama
membiarkan diri kita tenggelam dalam perasaan “hidup” itu, hingga
akhirnya awan kelabu mulai menabur rintiknya. Aku bersikeras untuk tidak
berteduh saat kamu ingin menepi karena takut nantinya aku jatuh sakit.
Dengan sedikit memaksa, kamu menyodorkan jaketmu untuk aku pakai,
padahal kaus yang melekat di tubuhmu itu bahkan tidak cukup tebal. Aku selalu menang
berdebat di bawah hujan, tapi tidak untuk masalah jaket ini. Akhirnya,
kita di sana, menunduk dari angin yang tak lagi berembus lembut.
Mungkin
hujan itu mulai jengkel melihat kita yang tak lagi takut padanya,
hingga akhirnya kita menyerah juga. Kamu mungkin tidak ingat, tapi saat
itu aku bilang aku punya akuarium di sepatuku, dan kamu tertawa. Aku
suka melihatmu menatapku dengan garis-garis hujan yang menjadi latarnya,
dua hal yang begitu aku cintai…. Ya, andai saja kamu membaca ini,
mungkin kamu tahu.
Beberapa bulan setelahnya, beberapa bulan saat kenangan-kenangan itu menjadi kenangan yang memang sekedar “kenangan”, aku melalui jalan yang sama, hanya keadaannya sedikit berbeda. Aku duduk di dalam mobil, melihat keluar jendela yang tertutup, menatap hujan yang tidak lagi membasahi jaketmu yang aku kenakan. Bahkan jaket itu tidak aku genggam… Aku melihat bagaimana jalanan itu terlihat basah, aku melihat bagaimana hujan itu menghapus warna kelabu dan mengubahnya menjadi pekat. Aku tersenyum sinis pada hujan itu, sekedar ingin meledeknya, ia tidak pernah berhasil menghapus jejak yang begitu lama aku tinggalkan di jalan ini, ia hanya membuatnya semakin nyata…
Beberapa bulan setelahnya, beberapa bulan saat kenangan-kenangan itu menjadi kenangan yang memang sekedar “kenangan”, aku melalui jalan yang sama, hanya keadaannya sedikit berbeda. Aku duduk di dalam mobil, melihat keluar jendela yang tertutup, menatap hujan yang tidak lagi membasahi jaketmu yang aku kenakan. Bahkan jaket itu tidak aku genggam… Aku melihat bagaimana jalanan itu terlihat basah, aku melihat bagaimana hujan itu menghapus warna kelabu dan mengubahnya menjadi pekat. Aku tersenyum sinis pada hujan itu, sekedar ingin meledeknya, ia tidak pernah berhasil menghapus jejak yang begitu lama aku tinggalkan di jalan ini, ia hanya membuatnya semakin nyata…
0 komentar:
Posting Komentar